Friday, December 21, 2012

LPP Smart Students di Bazaar HUT Madrasah Pembangunan UIN Jakarta

0 comments

Jum'at dan Sabtu (21 dan 22 Desember 2012), LPP Smart Students hadir di acara Bazaar HUT Madrasah Pembangunan UIN Jakarta. Bazaar yang diadakan di hari pengambilan rapor ini dimaksudkan untuk menyambut HUT ke 39 yang akan jatuh pada 7 Januari 2013. Acara ini juga diramaikan oleh lomba tari, lomba baca puisi, dan lomba menyanyi yang diikuti oleh civitas academica MP UIN Jakarta.




Letak booth LPP Smart Students ada di dekat pintu masuk kompleks sekolah, di bawah deretan pohon rindang di pinggir lapangan basket. Para pengunjung yang datang ke booth LPP Smart Students ada yang bertanya dengan antusias mengenai program dan tarif bimbingan belajar dan ada juga bertukar pikiran dengan guru-guru LPP Smart Students mengenai pola belajar anak.

Khusus dalam momen Bazaar HUT MP UIN ini, LPP Smart Students memberikan diskon uang pendaftaran sebesar 50 % dan juga suvenir berupa tempat pensil dan pin. Alhamdulillah pada kesempatan ini, semakin banyak siswa/i yang bergabung bersama kami. LPP Smart Students mengucapkan terimakasih banyak atas kerjasama dan kepercayaan yang diberikan selama ini. Mari, kita sambut tahun baru dan semester baru bersama LPP Smart Students :) [AP/SmartStudents]

Berbolak-baliknya Hati, Siapa Yang Tahu?

0 comments

Pemuda itu, sebut saja namanya Akbar (bukan nama sebenarnya). Mahasiswa tingkat akhir di sebuah PTN itu biasa mengisi waktu luangnya dengan nongkrong di sekitar kos-nya. Aktivitasnya ketika nongkrong, boleh dibilang sama dengan yang dilakukan mereka yang sering nongkrong. Merokok, main gitar, ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul, terkadang main gaplek. Mudahnya, Akbar bukan tipe orang yang terlihat shalih secara kasat mata. Bukan tipe orang yang akan direken sebagai pemuda mesjid atau aktivis dakwah.

"Gue dulu pernah ikut **** (menyebut nama sebuah gerakan dakwah). Gue bahkan sempet ikut keliling dari masjid-ke-masjid, dan nginep di sana. Dulu gue sama masjid rasanya deket banget. Waktu gue kecil, kalo gue pergi ama nyokap (ibu) terus ada adzan, gue pasti ngajak nyokap berenti dulu dan sholat. Dulu gue rasanya sedih banget kalo ampe ketinggalan sholat berjamaah, kayak ada yang kurang dan hilang." tutur Akbar pada seorang kawannya, Yunus (juga bukan nama sebenarnya), yang kebetulan aktivis UKM Dakwah Kampus di PTN tersebut.

Yunus tersentak. Tentu saja kekagetannya itu tak ia ungkapkan secara terbuka di depan Akbar. Sebab Akbar yang ia kenal selama ini adalah Akbar yang berbeda 180 derajat dari apa yang ia ceritakan. Apalagi ekspresi Akbar saat bercerita sepertinya datar-datar saja, tidak ada raut penyesalan terlihat.

Kisah di atas diceritakan Yusuf kepada saya. Tentu bukan dalam rangka berghibah, namun dalam rangka mengambil pelajaran. Apa yang terjadi pada Akbar, tak mustahil terjadi pada diri kita. Jika kita saat ini dikenali manusia sebagai orang yang baik, shalih, dan berilmu, tak mustahil jika kemudian ( ) kita menjauh dari kebaikan-kebaikan itu dan malah menjadi sebaliknya. Kita membuang kebiasaan-kebiasaan baik kita dan menggantikannya dengan yang buruk.

Hati, dalam bahasa Qur'an kadang disebut sebagai qalbu. Ia, dalam kaidah bahasa Arab, masih memiliki asal yang sama dengan kata kerja qallaba-yuqallibu yang artinya membolak-balik. Memang pada dasarnya, hati manusia itu sangat mudah berbolak-balik. Bahkan pada titik lain yang lebih ekstrim Rasulullah menyebut bahwa menjelang hari kiamat ada orang-orang yang paginya beriman namun sore harinya mereka kafir, lantaran dahsyatnya fitnah di hari-hari tersebut.

Karena itu, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Tirmidzi mengajarkan do'a yang begitu indah pada kita:

 يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalbii 'ala diiniKa.
Wahai Yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agamamu.

Sahabat, ternyata hidayah itu mahal bukan? Sebab tidak semua orang berkesempatan memperolehnya, dan bila sudah dapat, ternyata dari yang sekian itu tidak semuanya berkesempatan mengecapnya terus menerus. Wallahu a'lam bisshawab. [AP / SmartStudents]

Friday, December 14, 2012

Disiplin Waktu

0 comments



Dalam beberapa buku, seminar atau bahkan penelitian yang dilakukan para ahli psikologi, mungkin kita pernah membaca atau mendengar bahwa kondisi atau keadaan kita saat ini adalah hasil dari apa yang telah kita lakukan pada hari kemarin, atau mungkin sebuah hasil dari proses panjang yang kita lakukan rutin selama beberapa minggu, bulan bahkan tahun.

Kita pasti tahu, Allah SWT memberikan waktu yang sama kepada setiap orang, yaitu 24 jam dalam sehari, tetapi kenapa kondisi atau keadaan orang berbeda-beda? lebih jelasnya “ kenapa ada orang yang “SUKSES” dan ada orang yang “GAGAL” ??

Faktanya, Orang yang sukses dan gagal mempunyai kesamaan terhadap waktu. Mereka sama-sama memiliki waktu 24 jam sehari. Yang membuat mereka berbeda adalah apa yang mereka lakukan selama kurun waktu 24 jam itu.

Orang sukses menggunakan waktunya dengan penuh disiplin dan tanggung jawab untuk meraih sukses yang lebih besar, sedangkan orang gagal menghabiskan waktunya dengan sia-sia, seperti bermalas-malasan, tanpa melakukan apa pun yang berarti dan produktif.

Dibawah ini ada sedikit renungan yang saya kutip dari sebuah buku karya Johanes Arifin agar kita mengetahui betapa pentingnya waktu. Bacalah dengan perlahan dan renungkan :

Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang tidak naik kelas.,
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi premature.,
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang sedang menunggu.,
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat.,
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.,
Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.,

Seperti itulah waktu,

Dalam banyak hal, mungkin kita menganggap bahwa kita sudah cukup disiplin terhadap waktu. Seringkali kita menilai diri kita dari apa yang kita pikirkan atau dari apa yang mampu kita lakukan, namun tanpa kita sadari mungkin seringkali kita lalai terhadap disiplin waktu sehingga banyak hal atau keinginan kita yang belum tercapai.

Sebagai penutup, "Hargailah setiap waktu dan milikilah disiplin terhadap waktu yang kita miliki karena waktu adalah pemberian dari Allah SWT yang sangat berharga, gunakanlah waktu kita dengan hal-hal positif dan produktif, Insya Allah kesuksesan akan menjadi mudah bagi kita”. [SR/SmartStudents].

Mendurhakai Anak

0 comments


Seorang laki-laki datang menghadap Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orangtua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya. Anak itu bertanya kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu, “Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?” . “Ya, tentu,” jawab Umar tegas. Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul Mukminin?”. “Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan al-Qur’an kepadanya,” jawab Umar menunjukkan. Anak itu berkata mantap, “Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama Majusi. Mereka menamakan aku Ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari al-Kitab (al-Qur’an). “Umar menoleh kepada laki-laki itu, dan berkata tegas, “Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu. Padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia mendurhakaimu. Engkau pun tidak berbuat baik kepadanya sebelum dia berbuat buruk kepadamu.”

Kata-kata Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu ini mengingatkan kepada kita -para bapak- untuk banyak bercermin. Sebelum kita mengeluhkan anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak mereka. Jangan-jangan kita marah kepada mereka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita. Jangan-jangan kita mengeluhkan kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.

Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua kita tidak melakukan kenakalan yang lebih besar. Kita sering bertanya bagaimana menghadapi anak, mendiamkan mereka saat berisik dan membuat mereka menuruti apa pun yang kita inginkan, meskipun kita menyebutnya dengan kata taat. Tetapi sebagai orangtua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk ditaati. Kita ingin mereka mengerti keinginan orangtua, tapi tanpa mau berusaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.

Pendidikan yang kita jalankan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekedar membebaskan kita dari kesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.

Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya. Muhammad Nashiruddin An-Nadwi, anak saya yang keempat, masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya (sekarang pun dia masih sangat lucu dan menggemaskan) . Sembari menunggu bagasi, seorang ibu yang modis bertanya kepada istri saya, “Anak pertama, Bu?”. “Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, cuma nggak ikut.” “Ou. Memangnya, berapa anaknya, Bu?” tanya ibu itu segera. “Baru empat. Ini anak yang keempat,” jawab saya ikut menimpali. “Empat???” tanya ibu itu dengan mata terbelalak. Tampaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”. “TK A. Nol kecil,” jawab istri saya.

Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya, sehingga nyaris berteriak, “Ya, ampun.. Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali. Ribut. Nggak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”.

Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak.Bukan gambaran tentang kematangan jiwa atau kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai resiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mampu membuat orangtuanya terhibur.

Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tentang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak.Terlebih ketika yang lahir, tidak sesuai harapan. Orangtua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itupun diperlakukan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan ketika anaknya sudah memiliki anak. Ketika anaknya sudah menjadi orangtua.

Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apapun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebabnya. Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.

Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudian ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih-sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan; dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan. Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua. Maka ia mengajukan pilihan dipulangkan ke rumah orangtua.

Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Bapaknya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan. Melihat anaknya yang sudah dua tahun meninggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”. Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja.

Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah.Yang ada hanyalah perasaan yang remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik di SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar. Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhawatiran akan beratnya tanggung-jawab di yaumil-akhir. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orangtuanya yang durhaka.

Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan sebuah daerah.

Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermuara pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggungjawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena kita lupa bahwa di antara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh keturunan (tasabbub). Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.

Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati: masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karier terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.

Dulu orangtua meratakan keningnya untuk mendo’akan anak. Sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orang tuanya.

Penulis : Ust. Mohammad Fauzil Adhim

Wednesday, December 12, 2012

Terus Jokowi Harus Ganti Nama Jadi Jokowow, Gitu?

0 comments

Beberapa hari yang lalu, ketika saya berangkat naik motor ke kantor LPP Smart Students di daerah Rempoa, saya mendapati ada seorang bapak, paruh baya, yang berboncengan motor dengan isterinya. Saya tak sengaja melihat beliau berdua di daerah arteri Pondok Indah, Jakata, setelah keluar dari underpass. Bapak tersebut boleh dibilang pengendara yang agresif. Sambil mengarahkan motornya ke arah kanan, beliau menyalakan lampu sein dan berulang kali mengklakson kendaraan yang ada di belakangnya. Termasuk saya. Masya Allah, ternyata beliau mau masuk ke jalur busway. Setelah masuk, motor bebek itu dipacu dengan kecepatan lumayan, dan saya tidak melihat mereka berdua lagi.

Setelah peristiwa itu saya, entah mengapa, teringat gubernur DKI yang baru saja terpilih, Ir. Joko Widodo atau yang lebih populer disebut Jokowi. Saya juga kemudian teringat gubernur sebelumnya, Dr. Fauzi Bowo yang lulusan Jerman itu. Saya merasa menemukan salah satu sebab Jakarta tetap macet meskipun sudah berulangkali berganti pemimpin. Bahkan yang lulusan luar negeri tersebut.

Ternyata, kita (termasuk saya) sebagai rakyat punya kecenderungan yang aneh. Ketika ada sesuatu yang membuat kita tidak puas, (dalam konteks ini kemacetan Jakarta) kita cenderung menyalahkan pemerintah yang bertugas. Padahal ternyata tanpa kita sadari, kita punya andil dalam masalah itu. Kita melestarikan masalah itu di alam bawah sadar kita, sementara alam sadar kita memaki-makinya. Kita mengeluh semrawutnya lalu lintas Jakarta, namun di saat yang sama kita menerobos lampu merah, menyerobot jalur busway, mengendarai motor di trotoar, dll. Dengan kata lain, kita hanya mengutuk kegelapan, tapi tak melakukan apa-apa untuk menerangi. Bukankah menyalakan sebatang lilin masih lebih baik? Redupnya cahaya lilin masih lebih baik daripada gelap total kan?

Kemudian, kita sebagai rakyat juga seringkali mengharapkan solusi yang instan dan menyeluruh, ibarat panacea. Panacea adalah nama obat dalam legenda Yunani kuno yang dikisahkan mampu mengobati segala macam penyakit. Di-glek, semua gejala sembuh. Sekitar sebulan yang lalu ada teman yang berbagi status di Facebook, bercerita tentang temannya yang mengeluhkan Jakarta yang masih macet dan banjir padahal Jokowi sudah jadi gubernur. Kalau boleh jujur, Jokowi yang sempat jadi media darling waktu itu baru bekerja sekitar dua bulan. Tidak adil rasanya menilai kinerja yang harus dikerjakan dalam lima tahun dari dua bulan waktu tertempuh. Semua butuh proses.

Betapa sering, kita menginginkan perubahan, namun lalai mengubah diri kita sendiri. Maka, reaksi otomatis saya terhadap status update kawan saya itu adalah,"Terus Jokowi harus ganti nama jadi Jokowow, gitu?" [AP/SmartStudents]

Tuesday, December 11, 2012

Tips on How to Speak English Fluently (1)

0 comments

English today has become an international language which connects almost everyone in this tiny planet we call home. English is now used in so many fields, such as education, history, politics, etc. As a result of that students all over the world are urged to learn English, and the terms ESL (English as Second Language) and EFL (English as a Foreign Language) are widely spread.

In Indonesia, English language is considered a foreign language, which means in this country, an English user might not have the chances to use it in public area since the users of the language are rare. Exception occurs when the "public area" are international schools or embassies. This condition is different with what happens in Malaysia. In that country, English is considered a second language and English has wider range of users than it does in Indonesia. This happens because in the past, Malaysia was a part of British Empire.

We as Indonesians sometimes have difficulties in speaking English fluently. Here are some simple tips how to do it. I hope you can apply and share them with your friends :)

Tip #1 : You Are What You Think
We, as EFL learners, sometimes think so many things before we decide to use English, e.g. : "Oh my God, I'm going to embarrass myself. My English isn't good and people will laugh when they hear I don't speak correctly." or "English is so hard, there's no chance I can master it."
As a matter of fact, even if you are a native speaker, it does not mean that you will speak 100 % correctly. Incorrect usages of language can be classified into two groups; errors and mistakes. Errors are incorrect usages that people make unconsciously and they actually think those things are OK. They simply think that it is the way a language is actually used. The incorrect usage is a part of their communication system. On the other side, when people make mistakes, they might be unaware about them at first, yet when they realize them, they will make some corrections.
If you ever watched the movie "Kiss Kiss Bang Bang", you will see clearly what I mean. The main character of the movie, Harry (portrayed by Robert Downey, Jr.) made some grammatical errors several times, especially when it comes to the different between adjective and adverb. Here is an example of them:

Perry: Go. Sleep badly. Any questions, hesitate to call. 
Harry: Bad. 
Perry: Excuse me? 
Harry: Sleep bad. Otherwise it makes it seem like the mechanism that allows you to sleep... 
Perry: What, f**khead? Who taught you grammar? Badly's an adverb. Get out. Vanish. 

So, you are afraid of making errors and mistakes? You do not have to be. It is not your own language, so people will  understand if you use it incorrectly sometimes.
Next, if you think that English is so hard, I will say, "No, it is not." Do not limit yourself. History shows that ordinary people can do extraordinary things when they do not limit themselves. Remember Muhammad II, the Ottoman Sultan that conquered Constantinople? He and his troops dragged their battleships over hills. Remember Edison? Do you still remember how many times he did his experiment to get his ultimate prototype of lamp bulb?

Next, have you ever experienced that you are in a middle of a conversation, but you cannot find how to say the word you mean in English? Everyone has. In the next part, we are going to discuss how to enrich your vocabularies. See you! :) [AP/SmartStudents]

Friday, December 7, 2012

Taman Bacaan Smart Students, Insya Allah di Semester Genap

0 comments
Gambar sekadar ilustrasi

Pergantian semester ganjil ke semester genap sudah menjelang, insya Allah pasca liburan semester ganjil, kami di LPP Smart Students akan membuka sebuah taman bacaan GRATIS di basecamp kami di Jl. Wijaya Kusuma I, Komp. MABAD Rempoa, Ciputat Timur. Ide pendirian taman baca ini didasari rasa terimakasih kami terhadap warga sekitar sekaligus upaya kami untuk menjadi lebih bermanfaat.

Sasaran pembaca di taman bacaan ini lebih diutamakan kepada anak dan remaja, meski tak menutup kemungkinan bagi pembaca dewasa dan bahkan manula. Kami membuka pintu bagi para sahabat LPP Smart Students yang ingin turut dalam upaya mencerdaskan generasi muda bangsa ini. Jika ada di antara sahabat yang ingin menyumbangkan buku bacaan dan menjadikannya ladang amal jariah bagi taman baca ini silahkan datang langsung ke kantor kami atau menghubungi kami di Call Center 021 8340 1934 / SMS Center 08777 1313 984. Adapun kriteria buku yang akan ditampilkan di taman bacaan LPP Smart Students, antara lain:

  1. Dalam keadaan layak baca (tidak harus baru)
  2. Tidak mengandung muatan penghinaan SARA, pornografi, kekerasan baik verbal maupun grafik.
  3. Jenis buku bisa buku teks pelajaran atau buku bacaan lepas.
  4. Bahasa penulisan bisa menggunakan Bahasa Indonesia, Inggris, maupun Arab.
Buku yang masuk akan mengikuti proses seleksi sebelum ditampilkan. Jika tidak memenuhi kriteria di atas atau ada pertimbangan lain dari pihak LPP Smart Students, mohon maaf, buku tersebut tidak akan kami ikut sertakan.
Yuk sahabat, bersama cerdaskan anak bangsa :) [AP/SmartStudents]