Tuesday, April 16, 2013

Ujian Nasional? Siap Berhasil, (Harus) Siap Gagal Juga


Ujian Nasional atau yang juga dikenal sebagai UN, awalnya diniatkan sebagai alat evaluasi pendidikan di Indonesia. Namun, sudah jadi rahasia umum bahwa UN membawa beban psikologis yang amat besar bagi para guru, orang tua, dan terutama siswa kelas ujung (kelas 6, 9, dan 12). Bagaimana tidak? Proses belajar-mengajar yang ditempuh selama bertahun-tahun, ditentukan hasilnya oleh tes beberapa hari saja.

Untuk mengurangi beban psikologis ini, banyak sekolah yang kemudian mengadakan training motivasi. Seperti pada umumnya training motivasi, biasanya para trainer tersebut akan menanamkan kepercayaan diri yang tinggi pada anak-anak yang akan "bertarung" di medan laga UN. Contoh simulasi yang biasanya diterapkan dalam training tersebut adalah si trainer akan memanggil ke depan seorang peserta, lalu menyediakan sebatang pensil. Si siswa akan diminta mematahkan pensil tersebut ala karate chop, namun dengan satu jari saja. Jika si anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi, jumlah gaya, dan posisi jari yang tepat, maka pensil tersebut akan patah!

Yang kemudian patut digarisbawahi adalah jika kepercayaan diri itu kemudian berbalik menjadi bentuk takabur. Maksud penulis dengan takabur di sini adalah, pada sebagian orang, ketika mereka siap untuk berhasil, mereka juga lupa bahwa di saat yang sama mereka punya risiko gagal pula. Ini bukan masalah pro dan kontra terhadap training motivasi, tidak seperti itu. Penulis sendiri punya tim yang memang salah satu bidang kerjanya adalah training motivasi. Ini adalah perkara realistis. Karena dalam lingkup apapun, selalu ada peluang gagal. Kalau tidak karena kelalaian kita sendiri, bisa jadi ada faktor-faktor di luar kehendak dan kuasa kita. Sewaktu hendak menempuh UN dahulu, penulis pernah dinasihati--meskipun dengan nada seolah bercanda--oleh salah seorang guru penulis mengenai hal ini, "Mana kita tahu kan... Bisa saja setelah kita kumpulkan kemudian LJK (Lembar Jawaban Komputer) kita tanpa sengaja ketumpahan kopi di ruang guru? Hehehe..."

Maka, siapkanlah ruang hati kita untuk menerima kegagalan. Syukur-syukur kegagalan itu memang tak harus kita alami. Penulis tidak mengajak para pembaca artikel ini untuk kemudian menjadi pesimis, bukan itu. Ini kenyataannya. Bicara mengenai kegagalan, Anda bisa menjelajah internet tentang kegagalan-kegagalan apa yang harus ditempuh seorang Abraham Lincoln (bukan Abraham Samad lho ya...) sebelum menjadi presiden Amerika Serikat. Rumus siap gagal ini pun dipahami dalam-dalam oleh orang-orang tersukses di dunia ini, salah satunya mendiang Steve Jobs. Siap gagal ini bukan berarti kemudian pasrah tanpa belajar dan usaha, sesungguhnya bukan seperti itu maksud penulis.


Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu syaithon.” (HR. Muslim)


Kalau gagal, jangan berandai-andai. Yakinlah ada kebaikan yang disimpan Allah untuk kita nikmati kelak. Dengan cara, dan di waktu yang lebih baik, Insya Allah. [AP/SmartStudents]



0 comments:

Post a Comment