Thursday, March 28, 2013

Mandiri Semenjak Dini


Anak muda itu, Muhammad ibnu 'Abdullah namanya. Semenjak muda, nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sudah menggembala kambing dengan upah beberapa dinar. Di umur 25 tahun, beliau yang sudah mendapat nama baik sebagai seorang yang terpercaya di kota Makkah, membawa barang dagangan milik Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar wanita terkemuka untuk diniagakan di Syam. Di usia 12 tahun, bersama pamannya, sang pemuda terpuji itu juga telah diajak sebelumnya oleh pamannya tercinta, Abu Thalib, berniaga ke tempat yang sama.

Sejarah kehidupan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya begitu banyak diwarnai dengan semangat untuk mandiri secara ekonomi. Beberapa kalimat dari paragraf sebelumnya sudah menjadi bukti, dari Rasulullah pribadi. Semangat mandiri itu juga yang ditunjukkan 'Abdurrahman ibn 'Auf ketika berhijrah. 'Abdurrahman, yang meninggalkan seluruh asetnya di Makkah dipersaudarakan oleh sang nabi dengan Sa'ad ibn Rabi. Tergerak untuk membantu saudara seimannya, Sa'ad menawarkan untuk membagi separuh aset kekayaannya kepada 'Abdurrahman. Lebih jauh, Sa'ad bahkan menawarkan untuk menceraikan salah seorang isterinya untuk kemudian dijodohkan dengan 'Abdurrahman. Perhatikan jawaban mengagumkan ibnu 'Auf, “Semoga Allah memberkahi hartamu dan keluargamu, aku tidak memerlukan semua itu. Akan tetapi, tunjukkanlah aku dimana pasar supaya aku dapat berdagang disitu”. Inilah jawaban orang yang terdidik oleh nabi dengan semangat kemandirian dan iffah (menjaga harga diri). Sa'ad melakukan apa yang diminta saudaranya, dan selang beberapa waktu saudaranya itu telah menjelma menjadi saudagar kaya yang menguasai pasar Madinah dan bahkan mampu menikah dengan memberi mahar berupa butir emas seberat biji kurma pada isterinya.

Pertanyaannya saat ini, apakah generasi belia muslim saat ini juga diwarisi semangat yang sama oleh orang tua dan para pendidiknya? Jawabannya, bisa ya, bisa juga tidak. Sebagian dari Anda, Bapak dan Ibu pembaca yang baik, mungkin mengingat pengalaman di masa kecil bersentuhan dengan  usaha dan uang. Yang laki-laki misalnya, kelereng hasil koleksi dan mengalahkan lawan kemudian dijual untuk menambah biaya beli sepeda idaman. Atau yang tinggal di pedesaan, mencari bekicot untuk dijual sebagai pakan itik. Anda yang perempuan mungkin ada yang membuat dan menitipkan pisang goreng di warung tetangga. 
Ada sebagian orang tua yang berusaha menduplikasi pengalaman itu, meski dengan nada yang berbeda. Misalnya, ketika sekolah mengadakan Market Day atau Hari Pasar, mereka mendorong anak-anaknya menjual minuman dalam kemasan, suvenir buatan tangan, mainan kesukaan, atau pengganjal perut berupa camilan rumahan. Modalnya? Dari investor dermawan bernama Abi-Ummi, Papi-Mami, atawa Ayah-Bunda :)

Buat sebagian lain dari kita, anak dan interaksi dengan kegiatan mencari uang macam itu mungkin terlihat seperti dua hal yang sebaiknya tidak usah bertemu. "Tidak usahlah anakku capek-capek dan bersusah-susah, cukup aku saja Bapak / Ibu-nya yang mengalami." Atau ada pula orang tua yang berucap seperti ini pada anaknya, "Apa kata tetangga nanti? Dikira mereka Bapak / Ibu sudah nggak mampu lagi nafkahin kamu!"

Bapak dan Ibu, para orangtua dan pendidik yang baik, sesungguhnya ini bukan perkara rupiah atau gengsi semata. Ini perkara membentuk karakter. Bahwa orang tua mereka selalu berusaha mencukupi anak, itu mereka sudah tahu. Namun, seperti yang dibilang Rocky Balboa, "...the world ain't all sunshine and rainbow..." Dunia tak hanya berisi hal-hal yang indah. Kita tak bisa menjamin kecukupan akan berkesinambungan. Maka, inilah salah satu bekalan mereka menempuh pelayaran arungi samudera dunia. Tentu saja, juga lengkapi bekalnya dengan iman, ilmu, dan takwa. [AP/SmartStudents]



0 comments:

Post a Comment