Saat guru menerangkan, ia asyik menulis. Tampaknya mencatat, tapi wajahnya tampak tidak menyimak apa yang diterangkan oleh guru. Matanya terpaku pada buku tulis yang ada di hadapannya, tapi ia kehilangan kontak guru yang sedang menjelaskan penuh semangat di depan kelas. Sesekali ia menarik sebuah buku dari dalam laci meja, membaca dengan segera dan buru-buru memasukkan lagi, lalu ia kembali menulis sambil sesekali mengarahkan pandangan mata ke depan. Tapi ini bukan pandangan mata yang sedang mengikuti pelajaran dengan antusias.
Ia sedang serius, tapi bukan serius memperhatikan pelajaran. Ia sedang memiliki keseriusan sendiri yang tidak terkait dengan pelajaran yang sedang berlangsung. Ia tenggelam dalam kesibukan. Sesekali mengarahkan pandangan mata ke depan, seakan mendengarkan, tapi tampak bahwa mata dan pikirannya bukan sedang memperhatikan. Ada urusan lain yang sedang menanti untuk diselesaikan. A serious job is awaiting.
Sesekali ia tampak gugup, lalu menampakkan sikap berlebihan dalam memperhatikan. Duduk dengan tegap atau kelewat serius dibanding biasanya. Tetapi apa yang terjadi padanya? O, rupanya sebuah PR sedang ia tuntaskan pengerjaannya (finishing the task) di kelas, meski sedang berlangsung pelajaran lain. Akibatnya, ia tidak mampu memperhatikan dengan baik seluruh proses pembelajaran yang berlangsung. Ia kehilangan kegairahan dan antusiasme belajar pada saat itu. Dan ini tentu akan berakibat menurunnya perhatian terhadap pelajaran itu di waktu-waktu berikutnya.
PR-nya memang selesai ia kerjakan. Ia merampungkan pengerjaan tugas (finishing the task), tapi ia sebenarnya tidak menyelesaikan tugas dengan baik (completing the assignment well). Dua hal ini sangat berbeda. Tapi jika guru tidak memberi umpan balik (feedback) dengan baik dan tepat kepada siswa, maka sulit sekali membedakan mana siswa yang hanya merampungkan pengerjaan tugas dan mana siswa yang bersungguh-sungguh menyelesaikan tugas. Dan jika ini diabaikan, siswa dapat kehilangan motivasi belajar (academic motivation) yang bersifat sesaat atau berkelanjutan sehingga pada akhirnya motivasi belajar siswa benar-benar payah. Jika masih tetap diabaikan, dapat menular kepada siswa yang lain sehingga merusak iklim kelas (classroom climate) secara keseluruhan.
Nah.
Inilah kenyataan yang tak jarang membingungkan guru dan kepala sekolah. Kegiatan motivasi sudah sering dilakukan. Training motivasi tak kurang-kurang. Bahkan bila perlu mendatangkan trainer-trainer kondang dengan segala kegiatan ice-breaking yang heboh. Tetapi sesudah training berlalu, sebulan kemudian sudah tak berbekas lagi.
Bukan tidak boleh menyelenggarakan training motivasi untuk siswa. Tapi tanpa memperhatikan hal-hal yang dapat menjaga dan menguatkan motivasi, meski tampaknya bukan kegiatan motivasi, maka seluruh training yang menghebohkan itu akan menguap begitu saja. Sesaat begitu menggugah, selanjutnya nyaris tanpa bekas.
Bukan Jawaban yang BenarYang paling penting dari pemberian pekerjaan rumah (PR) bukan agar siswa mampu menjawab dengan benar (answering right). Bukan. Jauh lebih penting daripada sekedar menemukan jawaban yang benar adalah proses belajar, bagaimana siswa memahami materi pelajaran dan tertarik dengannya (making connection with lesson) serta berusaha mengerjakan secara sungguh-sungguh dan menemukan jawaban baik (completing assignment and answering well).
Ada perbedaan antara menjawab dengan jawaban yang benar (answering right) dengan menjawab secara sungguh-sungguh melalui proses yang benar (answering well). Jika guru hanya menuntut siswa untuk menemukan jawaban yang benar, maka proses menjadi tidak penting. Kualitas pengerjaan PR hanya dinilai dari jumlah jawaban yang benar dan salah, lalu memberi skor alias nilai. Bagaimana prosesnya sehingga siswa sampai kepada jawaban itu, sama sekali tidak penting. Kalau pun dianggap penting, siswa tidak merasakan pentingnya karena tidak ada umpan balik (feedback). Padahal benar atau salah, sama-sama sangat berharga bagi proses belajar siswa jika guru memberi umpan balik secara tepat. Jika siswa menjawab salah, mereka tahu mengapa mereka salah dan apa sebabnya. Jika mereka menjawab benar, mereka juga dapat memastikan bahwa benarnya jawaban bukan semata karena kebetulan hasil akhirnya benar. Sebab jika yang benar hanya hasil akhirnya, sesungguhnya ini bukanlah jawaban yang benar, melainkan semata kebetulan jawabannya bersesuaian dengan yang benar.
Jawaban benar tapi prosesnya salah, dalam masalah dien ibarat benar kesimpulan hukumnya tapi keliru dalilnya. Menunjukkan keutamaan memaafkan, tapi dalilnya “rahmatan lil ‘alamin”. Sama sekali tidak tepat. Memaafkan memang mulia, tapi “rahmatan lil ‘alamin” sama sekali tidak terkait dengan memaafkan.
Saya jadi teringat pengalaman di kelas 3 di SMA Negeri 2 Jombang, Jawa Timur. Sulit sekali hati merasa tenang jika siswa tidak mengerjakan sendiri PR-nya. Salah atau benar, siswa perlu memahami bagaimana jawaban itu diperoleh. Dan siswa tidak akan paham jika ia hanya menyalin pekerjaan temannya. Siswa seperti inilah yang akan deg-degan selama pembahasan PR sebab sewaktu-waktu ia akan ditanya bagaimana prosesnya memperoleh jawaban. Siswa seperti ini yang biasanya tampak gelisah. Padahal guru justru sering menunjuk siswa yang gelisah, meski kadang langsung menanyai mengapa gelisah.
Perlakuan yang tepat terhadap hasil pengerjaan PR siswa menjadikan mereka bergairah mengerjakan tugas di waktu-waktu berikutnya, baik berupa PR maupun tugas yang langsung dikerjakan di sekolah. Jika guru lebih mementingkan bagaimana siswa menemukan jawaban dan bukan bersibuk dengan apa jawabannya, maka siswa akan lebih bersemangat mengikuti pembahasan soal dan pelajaran yang mengikutinya. Boleh jadi siswa salah dalam menjawab, tetapi kesalahan itu justru menjadi pintu untuk mampu mengerjakan tugas secara benar. Inilah yang memicu siswa lebih suka memilih soal yang tingkat kesulitannya tinggi –jika mereka diberi pilihan—daripada soal yang mudah. Ia menyukai soal-soal dengan tingkat kesulitan lebih tinggi karena memberi tantangan yang lebih besar dan dengan sendirinya memberi peluang belajar yang lebih tinggi. Tetapi jika guru berorientasi pada hasil jawaban, lalu memberi skor pada pekerjaan siswa seraya memuji yang hasilnya bagus, siswa cenderung tidak berani ambil resiko. Mereka lebih menyukai soal yang mudah karena peluang memperoleh skor/nilai yang bagus akan lebih tinggi. Mereka lebih mementingkan kesempatan memperoleh nilai yang baik daripada kesempatan belajar yang lebih menantang. Jika sudah berkerak jadi penyakit, mereka lebih suka teknik instant mengerjakan soal daripada pemahaman mendalam terhadap pelajaran.
Hari ini, apakah yang terjadi pada anak-anak kita (bahkan mahasiswa kita)? Mereka lebih menyukai soal yang mudah atau mereka lebih menunjukkan kegairahan menghadapi tantangan? Mari kita jawab secara jujur. Dan itulah gambaran nyata mutu pendidikan kita.
Jadi, apakah kita sebaiknya tidak memberi skor/nilai pada hasil pengerjaan PR siswa? Sesekali boleh, tanpa memberitahukan kepada mereka terlebih dulu. Yang jelas, kita harus memberi umpan balik secara tepat dan efektif kepada mereka. Bukan sekedar memeriksa tugas.
Kerjakan PR di RumahJangan pernah izinkan siswa mengerjakan PR di sekolah. Pastikan siswa menyelesaikan tugas-tugas tersebut di rumah sebagai proses pembelajaran terencana dari guru. Mengerjakan tugas secara keseluruhan atau menyelesaikan yang tersisa di sekolah, menyebabkan mereka kehilangan waktu berharga di awal masuk kelas. Meskipun mereka mengerjakan saat istirahat, atau sebelum pelajaran dimulai, tetapi ini berpengaruh besar terhadap kegairahan mereka belajar pada jam-jam berikutnya. Perhatian mereka telah banyak terenggut untuk mengerjakan PR yang tersisa atau bahkan mengerjakan sepenuhnya di kelas.
Ada dua keadaan yang patut dipikirkan tentang mengerjakan PR di kelas. Pertama, jika siswa mengerjakan sendiri PR tersebut, perhatiannya akan banyak terkuras. Lebih-lebih jika jadwal pelajaran yang di dalamnya ada penugasan tersebut ada di jam terakhir, praktis siswa tidak dapat mengikuti seluruh mata pelajaran sebelumnya dengan penuh perhatian. Badannya ada di kelas, matanya seperti memperhatikan guru yang sedang menerangkan, tapi pikirannya ada pada PR. Ia sibuk mencuri kesempatan dan menenggelamkan diri dalam tugas yang diterimanya.
Kedua, jika ia mencontoh alias menyalin hasil pengerjaan PR temannya, maka perhatiannya akan banyak tersita untuk menyalin. Situasi psikisnya dapat seperti ilustrasi yang saya ceritakan di awal tulisan ini. Ia menyibukkan diri menyalin, mengabaikan pembelajaran yang sedang berlangsung, dan sesekali menunjukkan pura-pura memperhatikan.
Jika guru biasa memberi umpan balik, siswa yang hanya menyalin PR temannya akan memiliki kecemasan lebih tinggi. Ia khawatir nanti akan diberi pertanyaan oleh guru terkait hasil pekerjaannya. Salah satu benar, jika bukan ia sendiri yang mengerjakan, akan sulit baginya untuk menjelaskan. Sebaliknya jika tidak ada umpan balik, sementara guru hanya memberi skor terhadap hasil pengerjaan PR, maka sangat mungkin akan terjadi demotivasi. Siswa yang mencontoh tidak merasa khawatir, sementara yang dicontoh merasa rugi telah bekerja keras.
Tetapi..., untuk sementara anggaplah mereka mengerjakan sendiri PR tersebut. Tidak adanya pengawasan yang ketat sehingga memungkinkan siswa menyelesaikan tugas (completing the assignment) di kelas, menjadikan kehilangan saat berharga untuk mengikuti pelajaran dengan baik. Selain kehilangan gairah dan kegembiraan belajar, merampungkan PR di kelas menjadikan anak tidak dapat mengikuti instruksi guru dengan baik. Padahal, ia seharusnya mengerahkan seluruh perhatian dan energinya untuk menyerap apa yang diterangkan guru.
Jika siswa tidak dapat mencerna pelajaran dengan baik, maka ia pun akan kurang bergairah mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Dan ini membawa akibat berkelanjutan. Motivasi belajarnya (academic motivation) menurun terhadap mata pelajaran tersebut dan bahkan dapat merembet ke mata pelajaran lain. Antusiasme belajarnya juga berkurang. Ia berada di kelas, tetapi tidak nyambung dengan pelajaran (lack of connection with lesson).
Penjelasan ini menegaskan sekali lagi bahwa memotivasi anak sama sekali tidak cukup hanya dengan memberi mereka training motivasi. Training motivasi yang hebat tidak akan memberi manfaat apa-apa jika hal-hal yang menyertai belajar anak diabaikan oleh guru. Sebaliknya, tanpa memberi mereka training motivasi sama sekali, jika pengelolaan kelas, strategi penyampaian materi pelajaran, iklim kelas dan budaya sekolah diperhatikan dengan baik, maka anak-anak itu akan memiliki motivasi belajar (academic motivation yang kuat).
Ini bukan berarti sekolah terlarang menyelenggarakan training motivasi. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa training hanyalah salah satu skrup kecil. Itu bersifat aksesoris.
Sekedar catatan, saya sendiri sering memberi training motivasi kepada anak. Saya juga pernah memiliki status formal sebagai wakil kepala sekolah bidang motivasi. Dan justru karena itulah, saya harus menyampaikan kepada Anda agar tidak keliru mengambil kebijakan.
Selebihnya, guru juga harus memperhatikan PR-nya sendiri. Jika kita menuntut anak mengerjakan PR di rumah, kita pun harus menuntaskan PR kita sendiri sebelum tiba di sekolah. Jangan sampai kita masih kelabakan mencari bahan saat akan mengajar. Padahal kita sudah berada di kelas.
Nah.
Penulis : Ust. Mohammad Fauzil Adhim
Bacaan lebih lanjut:The Art and Science of Teaching, Robert J. Marzano, 2007
The End of Molasses Classes, Ron Clark, 2011
Rethinking Homework karya Cathy Vatterott, 2009